Sunday, November 13, 2016

fungsionalisme struktural

A.    Definisi Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme Struktural muncul menjadi bagian dari analisis sosiologi pada tahun 1940-an dan mencapai kejayaannya pada tahun 1950-an[1]. Ketika itu teori fungsionalisme struktural merupakan teoritis standar yang diikuti mayoritas sosiolog dan hanya sebagian kecil saja yang menentangnya.
Namun mulai tahun 1960-an dominasi teoritik fungsionalisme struktural mendapat tentangan keras dan adekuasi teoritisnya semakin dipertanyakan.
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.
Fungsionalisme Stuktural juga merupakan salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Kemudian, perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidak -seimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian yang lain. Asumsi dasar teori ini[2] ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Sepanjang teori ini, masyarakat terdiri dari berbagai elemen atau institusi yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Elemen-elemen itu antara lain adalah ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan, adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat luas akan berjalan normal jika masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik. Kemacetan dan perubahan pada salah satu institusi lain dan pada gilirannya akan menciptakan kemacetan dan perubahan  pada masyarakat secara keseluruhan karena perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak aka nada atau akan hilang dengan sendirinya.
Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dank arena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial.
Secara ekstrim teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu di dalam masyarakat ada fungsinya, termasuk hal-hal seperti kemiskinan, peperangan, atau kematian.  Teori ini juga menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan.[3]
Robert K. Merton sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, Merton mengkritik hal yang dia anggap sebagai tiga dalil dasar analisis fungsional seperti yang dikembangkan oleh para antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe-Brown.
Pertama ialah dalil kesatuan fungsional masyarakat. Dalil tersebut menganggap bahwa semua kepercayaan sosial dan budaya dan praktik yang distandarkan bermanfaat bagi masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan juga sebagai individu-individu di dalam masyarakat. Dalil kedua ialah fungsionalisme universal. Yakni, diargumenkan bahwa semua bentuk sosial dan budaya yang distandarkan mempunyai fungsi-fungsi positif. Merton berargumen bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan yang kita jumpai di dunia nyata. Dalil ketiga ialah dalil kebutuhan mutlak. Dalil tersebut menghasilkan ide bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah untuk masyarakat.
Teori Struktural Fungsional dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mendasarkan pada tujuh asumsi[4].
1.            Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang sering berinteraksi.
2.            Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat timbal balik.
3.            Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, di mana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.
4.            Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan.
5.            Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian.
6.            Perubahan adalah merupakan suatu hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi.
7.            Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.

Para fungsionalis struktural awal cenderung berfokus hampir seluruhnya kepada fungsi-fungsi struktur atau lembaga sosial yang satu untuk yang lainnya. Akan tetapi pada pandangan Merton, para analis awal cenderung mengacaukan motif-motif subjektif individu dengan fungsi-fungsi struktur atau lembaga. Fungsionalis struktural seharusnya berfokus pada fungsi-fungsi sosial daripada motif-motif individual. Padahal perhatian fungsionalis struktural harus lebih banyak ditunjukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem.
Menurut Merton fungsi-fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang dibuat untuk adaptasi atau penyesuaian suatu sistem tertentu”. Akan tetapi ada satu bias (simpangan) ideologis yang jelas ketika orang hanya berfokus pada adaptasi atau penyesuaian karena mereka selalu merupakan konsekuensi-konsekuensi positif. Perlu dicatat bahwa fakta sosial yang satu dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi negatif untuk fakta sosial yang lainnya untuk mengoreksi penghilangan serius tersebut yang terjadi di dalam fungsionalisme awal, Merton mengembangkan ide mengenai disfungsi. Sebagaimana  struktur-struktur atau lembaga-lembaga dapat berperan dalam pemeliharaan bagian-bagian lain sistem sosial, mereka juga dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi negatif untuknya.
Konsep Merton tentang disfungsi meliputi dua pikiran yang berbeda tetapi saling melengkapi. Pertama, sesuatu bisa saja mempunyai akibat yang secara umum bisa saja mempunyai akibat yang secara umum tidak berfungsi. Dalam perkataannya sendiri “sesuatu bisa saja memiliki akibat-akibat yang mengurangkan adaptasi atau derajat penyesuaian diri dari sistem itu”. Kedua, akibat-akibat ini mungkin berbeda menurut kepentingan orang-orang yang terlibat.
Merton juga mengajukan ide nonfungsi, yang dia definisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang benar-benar tidak relevan dengan sistem yang dipertimbangkan. Untuk membantu menjawab pertanyaan apakah fungsi positif lebih banyak daripada disfungsi, atau sebaliknya. Marton mengembangkan konsep keseimbangan bersih.
Merton juga memperkenalkan konsep fungsi manifest dan laten. Kedua istilah ini juga telah menjadi tambahan penting bagi analisis fungsional. Dalam istilah-istilah yang sederhana, fungsi-fungsi manifest (nyata) adalah yang disengaja atau fungsi yang diharapkan, tetapi fungsi laten tidak disengaja atau yang tidak diharapkan.



[1] Dewi Wulansari-Sosiologi Konsep & Teori. Hal. 173
[2] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern. Hal.48
[3] George Ritzer- Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Hal. 21
[4] Zamroni- Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Hal. 25