A.
Definisi Fungsionalisme Struktural
Teori
Fungsionalisme Struktural muncul menjadi bagian dari analisis sosiologi pada
tahun 1940-an dan mencapai kejayaannya pada tahun 1950-an[1].
Ketika itu teori fungsionalisme struktural merupakan teoritis standar yang
diikuti mayoritas sosiolog dan hanya sebagian kecil saja yang menentangnya.
Namun mulai tahun 1960-an dominasi teoritik fungsionalisme struktural mendapat
tentangan keras dan adekuasi teoritisnya semakin dipertanyakan.
Fungsionalisme
struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi
yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat
secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama
norma, adat, tradisi dan institusi.
Fungsionalisme
Stuktural juga merupakan salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi
yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak dapat berfungsi
tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Kemudian, perubahan yang terjadi
pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidak -seimbangan dan pada gilirannya
akan menciptakan perubahan pada bagian yang lain. Asumsi dasar teori ini[2]
ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau
fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya
dengan baik.
Sepanjang teori
ini, masyarakat terdiri dari berbagai elemen atau institusi yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Elemen-elemen itu antara lain
adalah ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan,
adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat luas akan berjalan normal jika
masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik.
Kemacetan dan perubahan pada salah satu institusi lain dan pada gilirannya akan
menciptakan kemacetan dan perubahan pada
masyarakat secara keseluruhan karena perubahan yang terjadi pada satu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak aka nada atau akan hilang
dengan sendirinya.
Penganut teori
ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa
terhadap sistem yang lain dank arena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu
peristiwa atau suatu sistem dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya
dalam suatu sistem sosial.
Secara ekstrim
teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu di dalam masyarakat ada fungsinya,
termasuk hal-hal seperti kemiskinan, peperangan, atau kematian. Teori ini juga menekankan kepada keteraturan
dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep
utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan
keseimbangan.[3]
Robert K. Merton
sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah
mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, Merton
mengkritik hal yang dia anggap sebagai tiga dalil dasar analisis fungsional
seperti yang dikembangkan oleh para antropolog seperti Malinowski dan
Radcliffe-Brown.
Pertama ialah
dalil kesatuan fungsional masyarakat. Dalil tersebut menganggap bahwa semua kepercayaan
sosial dan budaya dan praktik yang distandarkan bermanfaat bagi masyarakat
sebagai suatu keseluruhan dan juga sebagai individu-individu di dalam
masyarakat. Dalil kedua ialah fungsionalisme universal. Yakni, diargumenkan
bahwa semua bentuk sosial dan budaya yang distandarkan mempunyai fungsi-fungsi
positif. Merton berargumen bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan yang
kita jumpai di dunia nyata. Dalil ketiga ialah dalil kebutuhan mutlak. Dalil
tersebut menghasilkan ide bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional
adalah untuk masyarakat.
Teori Struktural
Fungsional dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat mendasarkan
pada tujuh asumsi[4].
1. Masyarakat harus dianalisis sebagai
satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang sering
berinteraksi.
2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu
arah atau hubungan yang bersifat timbal balik.
3. Sistem sosial yang ada bersifat
dinamis, di mana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai
satu kesatuan yang utuh.
4. Integrasi yang sempurna di
masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul
ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan.
5. Perubahan-perubahan akan berjalan
secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan
penyesuaian.
6. Perubahan adalah merupakan suatu
hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi.
7. Sistem diintegrasikan lewat
pemilikan nilai-nilai yang sama.
Para fungsionalis
struktural awal cenderung berfokus hampir seluruhnya kepada fungsi-fungsi
struktur atau lembaga sosial yang satu untuk yang lainnya. Akan tetapi pada
pandangan Merton, para analis awal cenderung mengacaukan motif-motif subjektif
individu dengan fungsi-fungsi struktur atau lembaga. Fungsionalis struktural
seharusnya berfokus pada fungsi-fungsi sosial daripada motif-motif individual.
Padahal perhatian fungsionalis struktural harus lebih banyak ditunjukan kepada
fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat-akibat yang
dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem.
Menurut Merton
fungsi-fungsi didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang
dibuat untuk adaptasi atau penyesuaian suatu sistem tertentu”. Akan tetapi ada
satu bias (simpangan) ideologis yang jelas ketika orang hanya berfokus pada
adaptasi atau penyesuaian karena mereka selalu merupakan
konsekuensi-konsekuensi positif. Perlu dicatat bahwa fakta sosial yang satu
dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi negatif untuk fakta sosial yang lainnya
untuk mengoreksi penghilangan serius tersebut yang terjadi di dalam
fungsionalisme awal, Merton mengembangkan ide mengenai disfungsi. Sebagaimana struktur-struktur atau lembaga-lembaga dapat
berperan dalam pemeliharaan bagian-bagian lain sistem sosial, mereka juga dapat
mempunyai konsekuensi-konsekuensi negatif untuknya.
Konsep Merton
tentang disfungsi meliputi dua pikiran yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Pertama, sesuatu bisa saja mempunyai akibat yang secara umum bisa saja
mempunyai akibat yang secara umum tidak berfungsi. Dalam perkataannya sendiri
“sesuatu bisa saja memiliki akibat-akibat yang mengurangkan adaptasi atau
derajat penyesuaian diri dari sistem itu”. Kedua, akibat-akibat ini mungkin
berbeda menurut kepentingan orang-orang yang terlibat.
Merton juga
mengajukan ide nonfungsi, yang dia definisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi
yang benar-benar tidak relevan dengan sistem yang dipertimbangkan. Untuk
membantu menjawab pertanyaan apakah fungsi positif lebih banyak daripada
disfungsi, atau sebaliknya. Marton mengembangkan konsep keseimbangan bersih.
Merton juga
memperkenalkan konsep fungsi manifest dan laten. Kedua istilah ini juga telah
menjadi tambahan penting bagi analisis fungsional. Dalam istilah-istilah yang
sederhana, fungsi-fungsi manifest (nyata) adalah yang disengaja atau fungsi
yang diharapkan, tetapi fungsi laten tidak disengaja atau yang tidak
diharapkan.